Kamis, 09 Agustus 2012

Studi Kelayakan Produksi Kompos dari Limbah Peternakan Sapi


Studi Kelayakan
Produksi Kompos dari Limbah
Peternakan Sapi


Disusun Oleh :
Ir. Muhammad Zakaria


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemerintah akhir-akhir ini menganjurkan pemakaian pupuk kompos, karena terus berlangsungnya proses degradasi lahan pertanian. Degradasi sumberdaya lahan pertanian yang dihadapi terutama adalah menurunnya kesuburan fisik, kimia, dan biologi tanah sebagai akibat dari penggunaan tanah yang over intensive, menurunnya penggunaan pupuk organik, serta kurangnya penterapan usaha tani konservasi. Gejala terjadinya tanah “lapar pupuk” yang menuntut penggunaan dosis lebih tinggi untuk sekadar mempertahankan tingkat produktivitas yang dicapai. Hal ini berkaitan dengan terkurasnya unsur-unsur hara mikro dan menurunnya kesuburan tanah akibat semakin habisnya bahan-bahan organik. Perombakan bahan organic pada lahan atau tanah di daerah tropis berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan di daerah sub tropis, sehingga kandungan bahan umumnya rendah. Sebagai contoh, kandungan C-organik tanah sawah Indonesia umumnya <0,5%, kandungan yang di anggap baik adalah >1 %, serta ideal > 2,5-4 %.
Untuk mengatasinya paling tidak setahun sekali lahan tersebut perlu mendapat tambahan bahan organik. Kompos adalah sumber bahan organik yang paling dianjurkan karena karena peranannya cukup besar terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta berperan juga dalam menjaga keseimbangan lingkungan. kompos yang ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh mikroorganisme tanah untuk menjadi humus atau bahan organik tanah. Fungsi fisika lain dari penambahan kompos pada tanah adalah pengikat butiran primer menjadi butiran sekunder tanah dalam pembentukan agregat yang mantap. Keadaan ini besar pengaruhnya pada porositas, penyimpana dan penyerapan air, aerasi tanah dan temperatur tanah. Meskipun secara kuantitatif kompos sedikit mengandung unsur hara makro, tetapi penggunaan kompos dapat mencegah kahat unsure mikro pada tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif dengan pemupukan yang kurang berimbang, karena kompos akan meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah, di samping akan membentuksenyawa kompleks dengan ion logam yang meracuni tanaman serta menurunkan penyediaan hara. Adapun fungsi biologis bahan organic pada kompos adalah sumber energi mikroorganisme tanah sehingga dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme tanah yang bermanfaat dalam penyediaan hara dan siklus hara tanah.Rendahnya bahan organik bukan hanya di lahan kering, tetapi juga di lahan sawah intensifikasi. Oleh karena itu saat ini, diduga penggunaan kompos di lahan kering untuk komoditas sayuran cukup tinggi dan ketergantungan terhadap kompos semakin meningkat. Hasil kajian empirik di lapangan misalnya, menunjukan bahwa tingkat penggunaan kompos untuk padi pada lahan sawah di Kabupaten Klaten dan Kediri berkisar antara 0,9-1,3 ton/ha, sedangkan untuk palawija berkisar antara 1,0-1,5 ton/ha (Rachman et al., 2004). Sedangkan penggunaan kompos untuk komoditas sayuran di Jawa Tengah dan Sumatera Utara masing masing bervariasi antara 1,4-15,4 ton/ha (Saptana,et al., 2001).
Hasil kajian Puslitbangnak pada komoditas bawang merah yang ditanam di lahan sawah di Jawa Tengah menggunakan kompos antara 20-30 ton/ha. Penggunaan kompos pada tanaman tebu dan tembakau di Jawa Tengah dan Jawa Timur berkisar antara 2,5-4,7 ton/ha (Saptana, et al., 2004).
Sosialisasi manfaat penggunaan kompos akhir akhir ini banyak dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah, yaitu melalui program-program pelatihan dalam kerangka pelaksanaan pembangunan pertanian, desiminasi melalui demplot-demplot, serta melalui penyuluhan, bimbingan, advokasi dan pendampingan melalui berbagai kelompok tani. Sejak TA 2008, APBN telah memberikan subsidi bagi 385.000 ton ( 2008) dan 450.000 ton ( 2009). Dengan subsidi pemerintah melalui BUMN ( PT Pusri, PT Pertani - Persero, PT Sang Hyang Seri dan PT. Petroganik) karena disadari pula bahwa penggunaan kompos secara masal oleh masyarakat petani hanya akan dapat terwujud kalau pengembangan kompos dilakukan melalui pendekatan industri dalam skala besar seperti halnya pengembangan pupuk kimiawi atau anorganik. Hal tersebut membuka kesempatan bagi usaha peternakan besar yang mengeluarkan limbah kotoran ternak untuk dapat berperan di dalam upaya mencukupi kebutuhan pupuk organic secara nasional.
Secara teori limbah ternak sebanyak kurang lebih 20-30 ton merupakan potensi yang yang besar untuk menghasilkan kompos. Dengan jumlah bahan sebesar 20-30 ton perhari, akan menghasilkan kompos basah sebesar 10-18 ton, karena penyusutan volume sebagai hasil proses pengomposan sebesar 50-60 %. Kompos basah sebesar 10-18 ton (kadar air 30-40%).

B. Tujuan Pengomposan dan Manfaat Kompos
Secara umum, tujuan pengomposan adalah:
a.     Mengubah bahan organik yang biodegradable seperti kotoran ternak menjadi bahan yang secara biologi bersifat stabil dan demikian mengurangi volume dan massanya.
b.     Bila prosesnya pembuatan secara aerob, maka proses ini akan membunuh bakteri pathogen telur serangga, dan mikroorganisme lain yang tidak tahan pada temperature di atas temperature normal.
c.     Memanfaatkan nutrient dalam buangan kotoran ternak secara maksimal seperti nitrogen, phosphor, potassium.
d.     Menghasilkan kompos granul sebagai pupuk organik.

Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah:
- Memperkaya unsure  untuk tanaman
- Memperbesar daya ikat tanah berpasir
- Memperbaiki struktur tanah berlempung
- Mempertinggi kemampuan menyimpan air
- Memperbaiki drinase dan porositas tanah
- Menjaga suhu tanah agar stabil
- Mempertinggi daya ikat tanah terhadap unsur hara
- Dapat meningkatkan efektifitas pupuk buatan.

C. Proses Pengomposan
Memahami dengan baik proses pengomposan sangat penting untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik. Proses pengomposan akan segera berlansung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-70˚C, dan akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi bahan organik yang lebih sederhana dan mengeluarkan CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 50-60% dari volume/bobot awal bahan. Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen).
Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan
oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa seperti asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine, amonia.
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila
kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Dengan demikian, menciptakan kondisi yang optimum selama proses pengomposan adalah suatu hal sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.

Faktorfaktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:

Rasio C/N
Rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.

Ukuran Partikel
Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.

Aerasi
Pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.

Porositas
Porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga¬rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.

Kelembaban (Moisture content)
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolism mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 ¬ 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, unsure hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.

Temperatur
Panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-60˚ menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60˚ C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba¬mikroba patogen tanaman dan benih¬benih gulma.

Keasaman dan Kebasaan (pH)
Proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa¬senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.

Kandungan hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.

Kandungan bahan berbahaya
Beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.

Lama pengomposan
Lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposakan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai berbulan-bulan hingga kompos benar¬benar matang.





Kegiatan Proses Produksi

1. Rencana Kegiatan
Secara garis besar, seluruh kegiatan pengomposan dilakukan dengan mesin, akan tetapi pemindahan dari satu tahap ke tahap lainnya masih menggunakan tenaga manusia.

2. Luas Area Proses Kegiatan

Proses pengomposan dilakukan dengan metoda yang paling sederhana dan murah, yaitu cara ”windrow” yaitu ditumpuk memanjang, setiap tumpukan memuat kotoran ternak yang dikomposkan sebanyak 50 ton. Dengan demikian, apabila tumpukan dibuat seperti bukit yang memanjang, maka kira-kira lebar 2 meter,  tinggi 1 meter dan panjang tumpukan kira-kira 25 meter, maka diperlukan 2 jalur tumpukan.
Apabila proses pengomposan memerlukan waktu paling cepat 45 hari, diperlukan sebanyak 90 tumpukan untuk produksi kompos setiap hari, setelah hari ke 45. Dengan demikian luasan yang dibutuhkan untuk seluruh proses pengomposan adalah 25 meter x 180 meter. Apabila jarak diantara tumpukan adalah masing masing 2 meter (untuk pengangkutan kompos jadi dan kegiatan lainnya), maka lebar lahan pengomposan menjadi 25 meter x 362 meter.
Lahan untuk pengomposan sebaiknya di semen, tetapi untuk mengurangi biaya, dapat juga pada tanah yang dikeraskan. Lahan dilengkapi dengan parit disekelilingnya, untuk mencegah air cucian dari areal pengomposan (leaching) masuk ke badan air, tanpa diolah terlebih dahulu.
Proses pengomposan akan selesai pada hari ke 45. Volume kompos menyusut sampai dengan 50-60 %.  Maka dalam 1 hari akan memproduksi kompos jadi antara 20-25 ton. Kompos jadi diangin angin (curing) selama 1hari dan dapat dikemas untuk didistribusikan kepada pengguna.
3. Peralatan dan Bahan
A.  Peralatan
-  Truk pengangkut limbah ternak dan kompos jadi
-  Mesin Steam
-  Mesin kompresor
-  Penggilingan (ginder), menghaluskan komposkering
-  Mesin pengayakan, untuk mengayak kompos yang sudah dikeringkan
-  Mesin pengemasan
-  Drum untuk menyemprotkan air dan aktifator pada proses pengomposan
-  Cangkul dan sekop
-  Sepatu boot untuk pekerja
-  Terpal penutup

B. Bahan
- Kotoran ternak
- Aktivator
- karung
- benang rami untuk menjahit karung

Uraian Kegiatan Pengomposan

1. Pengangkutan ke lokasi pengomposan

Pengangkutan kompos dilakukan dengan truk ke areal proses pengomposan, dengan bantuan dump truck atau gerobak dorong, karena limbah kotoran ternak yang akan di angkut relatif besar, yaitu kurang lebih 50 ton setiap harinya.

2. Proses Pengomposan
Proses pengomposan dikerjakan pada areal lahan seluas 25 meter x 362 meter, pada tanah yang dikeraskan. Pengomposan pada tanah di samping untuk mengurangi biaya, juga akan akan menyeimbangkan temperatur proses secara alami. Sekeliling tumpukan dilengkapi parit, untuk mencegah pencucian (leaching) mencemari badan air.
Limbah ternak diangkut dengan dump truck atau gerobak dan ditumpuk memanjang dengan lebar kurang lebih 2 meter dan tinggi kurang lebih 1 meter sepanjang 25 meter.
Setiap tumpukan kurang lebih 50 ton dicampur dengan dolomit sebesar 1 ton (20 kg/ton) untuk meningkat pH bahan, ditutup dengan terpal seperti terlihat pada gambar 3, untuk mempertahankan suhu pengomposan, juga untuk mencegah tambahan air pada saat hujan.

3. Aerasi dan Penyemprotan air
Mikroba yang berperan dalam proses pengomposan adalah bersifat aerob sehingga memerlukan udara dalam kehidupannya. Mereka memerlukan udara segar (oksigen) untuk tumbuh dan berkembang biak. Menurut hasil riset, oksigen yang diperlukan dalam proses pengomposan adalah sekitar 50 persen dari konsentrasi oksigen di udara. Aerasi dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu setiap tumpukan dibalik atau dipindahkan ketempat sebelahnya yang telah disiapkan, seperti terlihat pada gambar  di bawah ini :

Cara lain dapat dilakukan dengan memberikan udara dengan kompresor tekanan tinggi melalui pipa yang terpasang di bawah tumpukan. Cara ini disebut dengan sistim ”aerated static pile”, relatif lebih murah karena tidak memerlukan alat berat untuk mengaduknya. Tetapi cara ini banyak menimbulkan masalah, terutama apabila bahan yang dikomposkan dalam jumlah besar. Karena pipa yang ditanam pada dasar proses pengomposan sering tersumbat, sehingga akan meperlambat proses ketika perbaikan.

Cara yang ideal untuk aerasi tumpukan adalah dengan mesin khusus (windrow compost turner) seperti yang terlihat pada gambar 6 di bawah ini. Tetapi mesin tersebut cukup mahal, atau dapat digunakan Hand Tractor pertanian yang dimodifikasi.

4. Penirisan (curing)

Setelah melalui semua tahapan proses pengomposan, dihasilkan kompos jadi dengan ciri-ciri adalah:
1.     Warna; warna kompos biasanya coklat kehitaman
2.     Aroma; kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan
3.     Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal. Apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah
Kompos dibiarkan diangin-anginkan pada ruang beratap sehingga tidak kehujanan. Contoh tempat untuk proses penirisan kompos terliahat pada gambar 13. Kadar air selama kuring adalah 30-40 %


5.  Pengayakan

Kompos yang sudah kering kemudian diayak dengan ayakan 80 mesh atau 100 mesh. Sisa bahan yang tidak lolos ayakan akan dipisahkan.

6. Pengemasan

Langkah berikutnya adalah pengemasan kompos. Ukuran kemasan bisa bermacam-macam. Kemasan-kemasan kecil bisa berukurang 1 kg, 5 kg, atau 10 kg. Kemasan juga bisa menggunakan karung dengan ukuran 25 - 30 kg. Kemasan biasanya terdiri dari dua bagian, bagian luar dan bagian dalam (inner). Kemasan bagian luar diberi merek/nama/logo perusahaan. Kompos yang telah dikemas ditaruh di gudang untuk didistribusikan.
Contoh mesin pengemas.


Pustaka Rujukan

Gaur, A.C., 1983, A Manual of Rural Composting FAO, United Nation Rome. Leslie Coperband. 2002. The Art and Science of Composting, A resource for farmers and producers. March 29, 2002. Center for Integrated Agricultur System, University of WisconsinMedison.

Mangan, F., Barker, A., Bodine, S and Borten, P.,1998, Compost Use and Soil Fertility,Boston, pp 129.

Rahman, H.P.S., Supriyati, B., Saptana, S., dan Rachman, B., 2004, Efisiensi dan Daya Saing Usaha tani Hortikultura. Prosiding: Efisiensi dan Daya Saing Sistim Usaha Tani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Swah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor

R. J. Holmer. 2002. Basic Principles for Composting of Biodegradable Household Waste. Paper presented at the Urban Vegetable Gardening Seminar, Sundayag Sa Ami hanang Mindanao Trade Expo, Cagayan de Oro City, Philiphines, August 30, 2002

Saptana, S., Sumaryanto, Sirega,M., Mayrowani, H., Sadikin, I., dan Friyatno, S., 2001, Dimensi Sosial Ekonomi Pertanahan di Indonesia: Implikasinya terhadap Pebaharuan Agraria, Makalah Disampaikan dalam Rangka Ekspose Badan Litbang Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Economi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

Saptana, S., Friyatno, dan Purwantini, T.B., 2004, Efisiensi dan Daya Saing Usaha Tani Tebu dan Tembakau di Jawa Timur dan Jawa Tengah, Prosiding: Efisiensi dan Daya Saing SistimUsaha Tani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Simamora, Suhut & Salundik, 2006. Meningkatkan Kualitas Kompos. Meningkatkan Kualitas Kompos. Kiat Menggatasi Permasalahan Praktis. Agromedia Pustaka The Composting Association. 2001. Large Scale Composting Resources. Januari 2001. http://www.compost.org.uk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar